Fotografer Jepang Fokuskan Lanskap Memanas di Alaska

 

Fotografer Jepang Fokuskan Lanskap Memanas di Alaska
Selama tiga dekade terakhir, fotografer Matsumoto Norio secara cermat mendokumentasikan pemandangan menakjubkan dari alam liar Alaska yang luas. Namun, kini ia memfokuskan bidikan lensanya pada aspek berbeda dari negara bagian Amerika Serikat (AS) itu, yaitu dampak pemanasan pesat terhadap lanskap dan kehidupan yang disokongnya.

Dunia yang memikat

Matsumoto dikenal di dunia fotografi atas dedikasi terhadap karyanya. Ia menghabiskan enam bulan tiap tahun, yaitu musim panas dan musim dingin, di Alaska, guna menjelajahi sebagian area paling terpelosok di negara bagian itu dan berkemah di sana sendirian dalam upaya memotret gambar yang tidak bisa diakses dunia. Foto-fotonya telah ditampilkan dalam buku pelajaran sekolah Jepang serta menerima pengakuan luas di media internasional.

Iglo dan Aurora.

Foto-fotonya termasuk citra menakjubkan karibu yang sedang bermigrasi, foto jarak dekat paus bungkuk dan beruang kutub, foto-foto menyolok gletser arktika, dan foto-foto aurora borealis yang mengagumkan.

Paus bungkuk melompat keluar dari permukaan air.
Karibu merumput di ladang.
Gletser arktika.

Menggeser fokus

Namun, beberapa tahun terakhir, Matsumoto telah mengubah fokusnya. Awalnya, ia enggan untuk membuat perubahan iklim sebagai tema karyanya.

"Saat saya berada di Jepang, saya tinggal di kota, mengendarai mobil, dan terbang," katanya. "Saya juga menggunakan peralatan listrik rumah tangga. Saya menyumbang ke pemanasan global. Jadi saya merasa tidak begitu pantas untuk menyuarakannya."

"Namun, keadaan berubah pesat di Alaska, sampai saya tidak bisa lagi berdiam saja. Kalau kita tidak melakukan sesuatu, seluruh planet ini akan mengalami masalah serius. Itu sebabnya, saya memutuskan untuk mulai menunjukkan pemandangan-pemandangan ini kepada dunia."

Matsumoto Norio di dalam hutan.

Penelitian mengungkapkan bahwa pemanasan yang terjadi di dan sekitar Alaska tiga kali lebih cepat dibandingkan wilayah lain di dunia. Temuan mengkhawatirkan itu menambah urgensi misi Matsumoto.

"Ketika saya pertama datang ke Alaska, saya bahkan belum mendengar mengenai pemanasan global," jelas Matsumoto. "Namun, kemudian secara bertahap saya mulai melihat dampaknya. Dan kini, ke mana pun saya melihat, tidak ada yang belum terdampak pemanasan global."

Ia menambahkan, "Salah satu contoh adalah saya terus memotret paus bungkuk untuk waktu lama. Suatu musim panas, paus-paus itu tidak muncul. Saya ingat merasa kaget atas betapa banyak perubahan lingkungan alam Alaska."

Paus bungkuk.

Dunia yang ambruk

Musim panas lalu, Matsumoto mengunjungi Fairbanks, kota kedua terbesar Alaska. Karena pelelehan ibun abadi, jalan-jalan menjadi bergelombang. Selepas kota itu, fenomena tersebut telah menggemburkan lahan di hutan, sehingga mencabut akar pohon.

Ibun abadi yang meleleh mengakibatkan jalan-jalan bergelombang.
Lahan yang bergeser membuat akar tercabut.

Cuaca yang berubah pesat juga telah mengakibatkan kebakaran besar alam liar. Satu kebakaran pada 2022 menghancurkan area luas hutan sebesar enam kali wilayah Tokyo.

Kebakaran alam liar menghancurkan hutan Alaska.

Sisa-sisa gletser yang meleleh membanjiri Sungai Mendenhall di ibu kota negara bagian itu, Juneau, menggerus bantarannya serta mengakibatkan bangunan ambruk ke air.

Rumah yang roboh.

Ancaman terhadap komunitas asli

Lanskap di sana berubah secara drastis, hingga dalam sejumlah kasus, seluruh desa terpaksa segera direlokasi.

Newtok adalah desa yang pernah menjadi rumah bagi komunitas asli yang jumlahnya sekitar 200 orang. Ibun abadi yang meleleh mengakibatkan tanahnya miring hingga derajat tertentu sampai kini terendam air dan tidak stabil. Lingkungan tempat rumah-rumah dulunya pernah berdiri kini terendam air. Tiang-tiang listrik miring secara berbahaya, dan tanah yang dipijak menyusut.

Tiang listrik yang miring.

Salah satu penduduk yang masih ada, Jonah, menunjuk ke fondasi rumah yang tergenang air. "Dulunya ada empat rumah di sini," katanya. "Sekarang hanya fondasinya yang tersisa."

Fondasi rumah yang terendam (kanan).
Jonah dan putrinya.

Iklim yang memanas juga menimbulkan ancaman nyata bagi Kivalina, desa dataran rendah yang berada di pesisir barat Alaska, kira-kira 130 kilometer di utara lingkar Arktika. Populasi orang asli di sini biasanya membuat pakaian dari kulit anjing laut dan kulit serigala. Namun, menipisnya es laut secara pesat telah merusak populasi anjing laut. Saat Matsumoto mendampingi warga setempat dalam perburuan baru-baru ini, kelompok itu pulang dengan tangan hampa.

Pemburu anjing laut pulang dengan tangan hampa.
Es laut mengalami penyusutan.

Tembok laut tidak berhasil memitigasi dampak erosi pesisir. Para penduduk kini berada dalam tekanan untuk pindah.

Tembok laut di sekitar desa itu.

Penilaian yang dibuat oleh para ahli teknik tentara AS pada 2013 memperkirakan bahwa paling lambat tahun selanjutnya, Kivalina tidak akan bisa ditinggali lagi karena tertelan oleh air laut yang meninggi.

"Kekacauan akan muncul ketika hal itu terjadi," kata Janet Mitchell, seorang penduduk yang telah tinggal di desa itu sejak lahir. "Kekacauannya telah dimulai."

Janet Mitchell.

"Saya ingin orang-orang untuk memahami apa yang terjadi di sini, apa yang kami hadapi. Orang-orang harus sadar akan isu tersebut. Ini bukanlah akibat dari sesuatu yang kami lakukan. Meskipun kami tidak membuat polusi Bumi seperti kota-kota besar, kami tetap terdampak."

Bagi Matsumoto, ketegangan yang melekat dalam pekerjaannya sulit untuk dipecahkan. Ia masih terkagum dengan keindahan alam yang melimpah dari dunia yang ia potret, tempat yang ia sebut sebagai "harta Bumi", tetapi ia juga mengakui bahwa kekayaan alam itu dengan cepat menghilang dan waktu untuk menyelamatkannya sudah hampir habis.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama