Sritex Resmi Bangkrut dan Tutup per 1 Maret 2025: Kronologi Masalah yang Membawa Perusahaan ke Jurang Pailit

PT Sritex tutup per 1 Maret 2025

Kabar.cloud - PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), salah satu perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara, resmi menghentikan operasionalnya pada Sabtu, 1 Maret 2025. Penutupan ini berdampak besar, tidak hanya pada pabrik utama yang berlokasi di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, tetapi juga pada anak perusahaan yang tergabung dalam Sritex Group.

Akibat kebangkrutan ini, ribuan karyawan harus menerima pemutusan hubungan kerja (PHK). Tercatat lebih dari 10.000 pekerja Sritex Group kehilangan pekerjaan selama Januari dan Februari 2025. Proses PHK dilakukan bertahap, dengan pemberitahuan resmi pada 26 Februari, dan hari kerja terakhir jatuh pada Jumat, 28 Februari 2025.

Penyebab Kebangkrutan Sritex

Kondisi keuangan Sritex yang memburuk menjadi pemicu utama kebangkrutannya. Perusahaan mengalami kesulitan dalam melunasi utang jangka pendek akibat arus kas negatif yang tercatat sejak tahun 2020. Masalah ini semakin diperparah oleh dampak pandemi yang berkepanjangan serta ketidakmampuan pelanggan membayar piutang mereka kepada Sritex.

Salah satu faktor utama yang membuat Sritex terjebak dalam krisis keuangan adalah kegagalannya dalam menagih pembayaran dari pelanggannya. Akibatnya, perusahaan tidak memiliki cukup dana untuk memenuhi kewajiban utangnya. Berdasarkan laporan keuangan per Desember 2020, total utang Sritex mencapai Rp 17,1 triliun, sementara total aset yang dimiliki hanya sebesar Rp 26,9 triliun. Dengan jumlah karyawan mencapai lebih dari 17.000 orang, beban keuangan perusahaan semakin berat.

Proses Hukum yang Membawa Sritex ke Status Pailit

Masalah hukum Sritex bermula dari putusan Pengadilan Niaga Semarang pada 23 Oktober 2024, yang menyatakan perusahaan dalam kondisi pailit. Putusan ini merupakan hasil dari gugatan yang diajukan oleh PT Indo Bharat Rayon terhadap Sritex dan anak perusahaannya, yaitu PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya.

Gugatan ini muncul akibat ketidakmampuan Sritex dalam memenuhi perjanjian damai (homologasi) yang telah disepakati sebelumnya. Homologasi adalah pengesahan hukum terhadap kesepakatan antara debitur dan kreditur terkait penyelesaian utang dalam proses kepailitan. Dalam kasus ini, PT Indo Bharat Rayon menilai Sritex lalai dalam memenuhi kewajiban pembayaran, sehingga meminta pengadilan untuk membatalkan perjanjian damai tersebut dan menyatakan Sritex pailit.

Setelah keputusan Pengadilan Niaga, Sritex berusaha mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) untuk membatalkan status pailitnya. Namun, pada 18 Desember 2024, MA menolak kasasi tersebut melalui Putusan Nomor 1345 K/Pdt.Sus-Pailit/2024. Dengan demikian, status pailit Sritex dan seluruh anak perusahaannya tetap berlaku secara hukum.

Dampak Kebangkrutan Sritex

Penutupan Sritex tidak hanya berdampak pada ribuan pekerja yang kehilangan mata pencaharian, tetapi juga pada industri tekstil secara keseluruhan. Sebagai salah satu perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara, kejatuhan Sritex memberikan sinyal buruk bagi sektor ini, terutama di Indonesia. Banyak pemasok, mitra bisnis, dan pelanggan Sritex yang ikut terdampak karena kehilangan salah satu pemain utama dalam industri tekstil.

Selain itu, kebangkrutan ini juga menjadi pengingat akan pentingnya manajemen keuangan yang kuat dalam menghadapi tantangan ekonomi global, terutama bagi perusahaan yang memiliki skala bisnis besar dan bergantung pada sistem kredit serta piutang usaha.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama