Warga Myanmar Berjuang untuk Membangun Kembali Negaranya

 Warga Myanmar Berjuang untuk Membangun Kembali Negaranya

Di Myanmar, perlawanan para pejuang telah melonggarkan cengkeraman junta di negara itu dan sejumlah kalangan yakin titik balik sejarah makin dekat. Katalisatornya adalah Operasi 1027, serangan terkoordinasi pada 27 Oktober tahun lalu oleh tiga kelompok etnik bersenjata. Sejak saat itu, pasukan perlawanan lainnya bergabung dalam gerakan tersebut.

Pencapaiannya signifikan, sebuah media independen setempat mengatakan pasukan perlawanan saat ini menguasai seluruh area yang berwarna merah dalam peta di bawah ini, total 46 kota hingga 15 Februari. Namun, junta berupaya keras untuk mengontrol aliran informasi yang keluar dari negara itu, sehingga sulit untuk mengetahui situasi yang terjadi di sana.

Pasangan orang Burma yang tinggal di Jepang membagikan foto-foto dan video kepada NHK, semuanya diambil oleh orang di Myanmar yang mengambil risiko kehilangan nyawanya untuk mendokumentasikan kekerasan HAM oleh junta.

Hingga 15 Februari, 46 kota diambil alih dan dikuasai oleh Pasukan Perlawanan. Sumber: Pemantau Perdamaian BNI-Myanmar.

Krisis kemanusiaan memburuk

Pasangan orang Burma itu, Win Kyaw dan Mathida, telah tinggal di Jepang selama lebih dari 30 tahun. Mereka melarikan diri dari Myanmar setelah militer memberantas unjuk rasa prodemokrasi mahasiswa pada 1988. Selama tiga dekade pasangan itu membantu orang-orang yang mengungsi dari negaranya, mengirimkan uang, makanan, dan pasokan bantuan lainnya.

Sejak kudeta pada Februari 2021, banyak warga sipil yang terjebak dalam konflik tersebut. Gambar-gambar tragis dari kontak mereka di Myanmar menunjukkan orang-orang melarikan diri dari militer. Sebuah badan PBB memperkirakan sejak dimulainya Operasi 1027, lebih dari 600.000 orang mengungsi. Hingga 31 Desember 2023, jumlah pengungsi di dalam negara itu mencapai lebih dari 2,6 juta orang.

Pengungsi dalam negeri di negara bagian Shan.

Hingga baru-baru ini, Yangon, yang merupakan kota terbesar, tampaknya banyak terhindar dari gejolak perang sipil itu. Kini tidak ada lagi. Seorang penduduknya mengatakan pemadaman listrik sering terjadi dan inflasi yang melonjak membuatnya makin sulit menghidupi keluarganya. Ia mengatakan harga telur naik dua kali lipat sejak kudeta tersebut, sementara BBM meningkat enam kali lipat. Pengangguran meningkat, begitu pula kejahatan.

"Kami warga sipil takut untuk keluar rumah setelah pukul 8 malam," katanya kepada pasangan Burma di Jepang. "Laporan menyebutkan Yangon aman, tetapi sebenarnya tidak. Militer berulang kali memberikan amnesti kepada narapidana dan membebaskannya dari penjara."

Hidup dengan senjata, tetapi sebuah Impian yang layak diperjuangkan

Pasangan itu mendengar dari seorang perempuan berusia 30-an tahun yang pindah dari kota itu untuk bergabung dengan gerakan perlawanan. Ia tidak bisa dihubungi selama dua tahun. Ketika mereka terakhir berkomunikasi, ia bekerja menjual sampo. Saat ini, ia menyiapkan makanan dan menyediakan perawatan medis di unit garda belakang pasukan aliansi kelompok etnik.

"Suatu hari, saya menyaksikan tembakan artileri dan saya harus tinggal di sebuah tempat perlindungan dari bom sepanjang malam. Banyak perempuan mendekati garis depan untuk menyediakan dukungan medis dan makanan."

Milisi perempuan memasak di kampnya di hutan.

Win Kyaw dan Mathida mengatakan mereka tidak sepakat untuk mengangkat senjata. Namun, mereka juga memahami mengapa anak-anak muda berjuang melindungi negaranya.

Perempuan milisi mengangkat senjata setelah dua remaja perempuan dibunuh dalam protes antikudeta. "Kami perempuan memahami bahwa itu tergantung kepada kami untuk melindungi diri kami sendiri. Itulah mengapa kami memutuskan untuk berjuang bersama."

Perempuan berusia 19 tahun yang tewas dalam protes. Kyal Sin (kiri) tewas pada Maret 2021. Mya Thwe Thwe Khaing (kanan) tewas pada Februari 2021.

Anggota milisi itu dari etnik mayoritas, Bamar. Ia mengatakan tidak pernah ke area etnik minoritas sebelumnya, tetapi kini mengetahui bagaimana orang-orang tersebut ditekan oleh militer selama bertahun-tahun.

"Ini sangat berbeda dari yang kehidupan kami sebelumnya. Orang-orang di sini sangat miskin. Itu yang saya sangat sadari. Mereka tidak dapat belajar dan tidak ada perawatan medis. Begitu pertempuran berakhir, saya ingin mengunjungi tempat-tempat seperti itu dan melakukan yang terbaik untuk mendukung orang-orang ini."

Perlawanan digital

Berhadapan dengan kekalahan di wilayah pertempuran yang signifikan, militer telah merespons dengan meningkatkan serangan udara. Serangan udara, yang seringkali menargetkan daerah warga sipil, dilaporkan telah menewaskan ratusan warga sipil selama tiga tahun terakhir. Militer membantah tidak ada nonkombatan yang meninggal, bersikukuh bahwa pihaknya melakukan operasi yang dibutuhkan untuk melawan pemberontak.

Win Kyaw dan Mathida khawatir peningkatan keyakinan militer terhadap serangan udara akan menyebabkan lebih banyak pembantaian. Pada Januari, mereka menerima laporan serangan udara di kawasan Sagaing barat daya. Serangan itu menewaskan setidaknya 17 orang, termasuk anak-anak. Pasangan itu mendapatkan sejumlah video dan foto dari warga setempat sebagai bukti. Namun, militer tersebut segera membantahnya sebagai laporan palsu. Pemantau HAM Myanmar Witness, yang mengkhususkan dalam investigasi sumber terbuka, mengatakan telah memverifikasi foto-foto dan sejumlah video yang beredar secara daring yang menunjukkan keterlibatan Angkatan Udara Myanmar.

Pemakaman warga sipil yang tewas akibat serangan udara.

Berdasarkan informasi dari keduanya, NHK telah bekerja sama dengan Myanmar Witness untuk menganalis pesawat dan senjata yang digunakan militer. Diketahui bahwa militer telah mendapatkan pesawat baru sejak kudeta itu, secara efektif meningkatkan kapasitas armadanya tiga kali lipat dengan dukungan jangka panjang dari Cina dan Rusia.

Pesawat militer menghantam target di daratan.

Pada Desember 2023, para petinggi militer menggelar sebuah upacara. Panglima militer Min Aung Hlaing mengumumka. "Ini merupakan sebuah langkah baru untuk meningkatkan Angkatan Udara Myanmar ", Ia menekankan 2 pesawat Su-30 buatan Rusia. Jet Su-30 dengan kapasitas 8.000 kilogram, secara signifikan lebih besar dibandingkan Yak-130.

Menurut TASS, media Rusia, Kremlin sepakat untuk memasok enam pesawat Su-30 ke Myanmar. Dua pesawat Su-30 diketahui pada 2022. Nomor ekornya 1904 dan 1905. Nomor ekor dari pesawat yang terakhir diperoleh yaitu 1906 dan 1907.

Pakar senjata, Leone Hadavi, mengatakan ini artinya total pemesanan untuk model itu dapat menjadi tujuh.

Empat pesawat Su-30 diambil dari siaran televisi pemerintah Myanmar dalam upacara HUT Angkatan Udara Myanmar pada 2022 dan 2023.

Pasangan itu khawatir jika pesawat Su-30 dikerahkan dalam serangan udara di masa mendatang, kerusakan akan lebih parah. Win Kyaw mengatakan, "Negara tersebut tidak akan berfungsi selama dikuasai oleh militer. Saya berharap kami dapat bekerja sama untuk menunjukkan bahwa kejahatan perang telah terjadi di sana."

Pendidikan merupakan satu-satunya solusi

Win Kyaw dan Mathida menghubungi kepala sekolah di Sagaing. Selama dua tahun terakhir, pengeboman dan serangan militer seringkali membakar desa-desa. Kepala sekolah itu, seorang pria berusia 30-an tahun, mengatakan 30 dari 40 murid di kelasnya kehilangan rumah mereka dalam serangan itu.

Jumlah rumah-rumah yang terbakar oleh militer, sumber Date for Myanmar.

Namun, kepala sekolah itu melaporkan situasi tersebut telah membaik. "Para penduduk semuanya selamat dan sejak Operasi 1027 dimulai, kekerasan di sekitar sini berkurang. Saat ini pasukan sipil menyerang, dengan target mengambil alih kota-kota, jadi militer fokus untuk mempertahankan diri."

Perlawanan pasukan dari garis depan itu membuat warga desa dapat memiliki lebih banyak otonomi. Beberapa mengoperasikan rumah sakit, sekolah, dan perpustakaan mereka sendiri. Para murid bermain sepak bola kembali, meski masih khawatir terhadap kemungkinan serangan militer.

Sejumlah murid bermain sepak bola di sekolah mereka.

Para penduduk mengatakan hampir tidak ada pria di desa itu. Sebagian besar pergi berperang melawan militer ketika berusia 18 tahun. Win Kyaw mengangkat isu itu kepada murid perempuan berusia 18 tahun.

Win Kyaw: "Bagaimana pendapat kamu mengenai orang seusiamu yang berperang?"

Murid perempuan: "Saya bangga terhadap mereka. Mereka berperang untuk kami dengan risiko kehilangan nyawa mereka sendiri, jadi saya menyemangati mereka."

Win Kyaw: "Sejumlah kalangan berpendapat bahwa jika mereka berhenti berperang, akan ada perdamaian. Bagaimana pendapat kamu?"

Murid perempuan: "Saya tidak setuju. Sebelum kudeta, Myanmar merupakan sebuah negara yang indah dan ketika junta mengambil alih, segalanya mulai memburuk. Generasi kami ingin mengakhiri kediktatoran, jadi kami menyemangati anak-anak muda yang mengangkat senjata melawan militer."

Kepala sekolah itu mengatakan melihat anak-anak bermain sepak bola kembali membuatnya menangis. Namun, ia juga mendorong anak-anak itu untuk rajin belajar. "Karena pendidikan kami bermutu rendah, negara kami hancur. Karena negara kami hancur pendidikan kami bermutu rendah. Ini merupakan lingkaran jahat yang harus dijalani anak-anak kami."

Sejumlah murid membangun perpustakaan di sekolahnya.

Mereka mengatakan lebih cepat pertempuran berakhir, mereka segera dapat mengalihkan perhatian untuk membangun negaranya.

"Kami harus membantu anak-anak belajar dan tumbuh," kata Win Kyaw. "Itu cara kami membangun sebuah negara. Itu dapat memakan waktu 30 tahun, tetapi jika mereka tidak dapat belajar, akan membutuhkan waktu lebih dari 100 tahun."

Mathida menambahkan, "Jika Anda mendapatkan pendidikan yang tepat, Anda dapat melangkah ke jalur yang benar. Hal itu yang kami yakini. Itulah mengapa kami membantu mereka."

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama