Ketika pasangan suami istri memutuskan untuk bercerai, sering kali fokus utama tertuju pada bagaimana anak akan menerima kabar tersebut. Namun menurut psikolog Agata Paskarista, luka emosional pada anak lebih sering disebabkan oleh konflik yang tidak sehat antara orangtua dibandingkan keputusan perceraian itu sendiri.
Anak-anak, menurut Agata, adalah makhluk yang sangat peka dan turut merasakan ketegangan yang terjadi di dalam rumah. Mereka mungkin tidak memahami sepenuhnya alasan di balik perceraian, tetapi mereka bisa merasakan dampaknya, terutama jika kedua orangtua terus saling menyalahkan atau mempertontonkan pertengkaran di hadapan mereka.
“Sumber utama kemarahan anak sering kali bukan pada keputusan bercerai itu sendiri, tetapi pada cara kedua orangtuanya memperlakukan satu sama lain dalam prosesnya,” kata Agata.
Lebih jauh, ia mengungkap bahwa anak sering kali merasa tidak dihargai sebagai individu ketika mereka tidak diberi penjelasan atau kesempatan untuk mengungkapkan perasaan. Anak yang dibesarkan dalam situasi konflik terus-menerus, dan tidak mendapat dukungan emosional yang cukup, akan merasa dikhianati dan terluka.
Meskipun dari luar anak tampak biasa saja atau tidak menunjukkan reaksi emosional berlebihan, hal itu tidak menjamin mereka tidak terdampak. Luka emosional bisa saja tersimpan dalam diam, dan lama-lama menjadi beban psikologis yang memengaruhi kepercayaan diri, hubungan sosial, hingga cara mereka membangun hubungan saat dewasa kelak.
Oleh karena itu, Agata menekankan pentingnya orangtua menjaga komunikasi yang sehat dan menjauhkan anak dari konflik. Memberikan penjelasan dengan cara yang jujur dan penuh empati, serta tetap hadir secara emosional untuk anak, merupakan langkah penting dalam melindungi kesehatan mental mereka.