Peringatan Hari Perempuan Internasional menjadi momentum penting untuk menyoroti isu kesehatan mental perempuan, yang sering menghadapi tekanan lebih besar dibandingkan laki-laki. Menurut data WHO, perempuan lebih rentan mengalami depresi, dengan prevalensi dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Selain itu, pandemi COVID-19 telah meningkatkan gangguan mental seperti kecemasan dan depresi hingga lebih dari 25 persen dalam satu tahun pertama pandemi.
Imran Pambudi, Direktur Pelayanan Kesehatan Kelompok Rentan di Kementerian Kesehatan, menyoroti bahwa perempuan yang bekerja di sektor kesehatan dan peran pengasuhan mengalami tekanan emosional yang lebih tinggi. Selain itu, faktor seperti beban ganda dalam keluarga, tekanan sosial, dan tingginya angka kekerasan berbasis gender juga memperburuk kondisi kesehatan mental perempuan.
Banyak perempuan yang mengalami kesulitan dalam mendapatkan layanan kesehatan mental yang terjangkau, terutama di daerah terpencil atau di negara berkembang. Stigma sosial serta keterbatasan ekonomi menjadi faktor penghambat bagi perempuan untuk mengakses layanan tersebut.
Sebagai bagian dari upaya meningkatkan kesehatan mental perempuan, pemerintah menargetkan agar seluruh puskesmas di Indonesia dapat menyediakan layanan kesehatan jiwa pada tahun 2027. Saat ini, hanya sekitar 40 persen puskesmas yang memiliki fasilitas tersebut. Selain perluasan layanan kesehatan mental, pemberdayaan perempuan melalui dukungan ekonomi, pendidikan, serta kebijakan perlindungan hak-hak perempuan juga menjadi langkah penting dalam menciptakan lingkungan yang lebih mendukung kesejahteraan mental perempuan.
Masyarakat juga dapat berkontribusi dengan membangun komunitas yang mendukung kesehatan mental perempuan, menghilangkan stigma terhadap gangguan mental, serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesejahteraan psikologis dalam mencapai kesetaraan gender dan kesejahteraan sosial.