Gempa Semenanjung Noto Sebabkan Penduduk Asing Merasa Terisolasi

 Gempa Semenanjung Noto Sebabkan Penduduk Asing Merasa Terisolasi

Bagi sebanyak 17.000 penduduk asing di Prefektur Ishikawa, Gempa Semenanjung Noto pada Januari menimbulkan berbagai kesulitan yang menyebabkan perasaan terisolasi dan ketidaknyamanan.

Orang-orang Brasil tidak mendapat informasi

Leo Tachibana, pria kelahiran Brasil, tengah berada di rumahnya di Kota Anamizu saat gempa tersebut mengguncang. Ia kerap datang dan meninggalkan Jepang untuk bekerja selama lebih dari dua dekade. Leo tak memiliki masalah berkomunikasi dalam bahasa Jepang di tempat kerjanya dan telah mengakar di lingkungannya, yang merupakan kediaman bagi 90 warga Brasil.

Namun, gempa pada Hari Tahun Baru mengubah segalanya.

Leo Tachibana berbicara mengenai lingkungannya, "Rumah-rumah tetangga sebelah saya runtuh. Saya selalu melewati rumah-rumah tersebut yang kini benar-benar hilang."

Saat layanan darurat kota itu menyiarkan seruan kepada warga untuk melakukan evakuasi, kalimatnya terlalu teknis sehingga sulit baginya untuk mengerti. Satu-satunya kata yang dapat dimengerti olehnya adalah "tsunami".

Leo dan sejumlah sesama orang Brasil berhasil mencapai pusat evakuasi. "Namun, kami tidak sepenuhnya memahami apa yang harus dilakukan untuk tetap aman," ujar Leo.

Dengan bantuan dari sejumlah rekan, Leo berhasil dievakuasi ke Prefektur Fukui tiga hari kemudian. Namun, ia tetap kesulitan untuk mendapatkan informasi penting.

Leo tidak mengetahui bahwa situs web Prefektur Ishikawa memiliki informasi darurat yang diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, termasuk bahasa Portugis.

Prefektur Ishikawa memiliki laman bahasa Portugis, tetapi Leo mengatakan, "Kami tidak menyadari hal itu."

Pada Februari, Leo akan kembali bekerja di sebuah pabrik di prefektur lain. Ia memerlukan waktu beberapa bulan untuk kembali bangkit dan berharap kembali ke Anamizu.

Akses ke informasi multibahasa

Tamura Taro, pakar komunikasi krisis untuk warga asing, mengatakan banyak orang merasa tidak diuntungkan dalam mendapatkan informasi dasar dan vital. Segera setelah bencana itu, ia mengunjungi sejumlah pusat evakuasi di Kota Nanao dan Kota Noto. Ia kesulitan menemukan papan petunjuk atau informasi dalam bahasa lain kecuali bahasa Jepang.

Tamura Taro, Direktur Utama Institut Keberagaman Manusia Jepang.

Di lokasi evakuasi, informasi yang rumit dibagikan secara verbal atau tertulis dengan sedikit terjemahan. Otoritas prefektur menyediakan informasi darurat dalam beberapa bahasa melalui layanan telepon atau di situs web.

Tamura menjelaskan layanan multibahasa kadang tidak diketahui, atau jarang digunakan sehingga orang-orang tidak berpikir untuk memanfaatkannya saat terjadi bencana. Ia ingin agar pemerintah setempat memanfaatkan jejaring media sosial yang biasa diakses oleh warga asing secara reguler.

Tamura mengatakan sistem lembar multibahasa yang berlaku saat ini, buatan pemerintah Jepang dan Dewan Pemerintah Daerah untuk Hubungan Internasional (CLAIR), dapat bermanfaat.

Lembar informasi terkait pasokan air. Lembaran ini dibuat dengan sistem multibahasa CLAIR.

Sistem tersebut dapat diakses di beranda situs web CLAIR, memungkinkan penggunanya memasukkan informasi spesifik yang dapat dicetak dalam beberapa bahasa. Selain bahasa Jepang sederhana, sistem itu menyediakan layanan dalam 14 bahasa, termasuk Indonesia, Vietnam, dan Portugis.

"Petunjuk multibahasa bermanfaat lebih banyak dibandingkan sekadar mengganti kata-kata," ujar Tamura. "Petunjuk-petunjuk itu memberikan rasa aman bagi warga asing, juga sebagai pengingat bagi orang-orang Jepang bahwa ada warga asing di sekitarnya yang mungkin tidak memahami bahasa Jepang dan mengalami kesulitan."

Lembar multibahasa digunakan di pintu masuk sebuah pengungsian pascagempa Kumamoto pada 2016.

Upaya keras para pemagang kerja teknis

Pascagempa tersebut, situasi yang dihadapi para pemagang kerja teknis khususnya sangat sulit. Terdapat lebih dari 4.000 pemagang kerja teknis, yang merupakan populasi terbesar dari warga asing di Prefektur Ishikawa.

Salim Mazen adalah warga Suriah yang mengoperasikan sebuah perusahaan perdagangan di Jepang. Ia memimpin sebuah kelompok sukarelawan dari Toyama Muslim Center (TMC) di prefektur yang bertetangga, Toyama. Tim tersebut tiba di wilayah terdampak pada 5 Januari dengan membawa pasokan bantuan.

Salim Mazen (kiri) mengantarkan bantuan. Ia mengatakan, "Kami orang asing yang tinggal di Jepang. Saat terjadi bencana, kami ingin ada di sana dan melakukan yang terbaik untuk membantu orang-orang, tanpa mellihat kebangsaan atau agamanya."

Mazen membantu para pemagang kerja teknis. Satu kelompok terdiri dari sekitar 50 orang Asia Tenggara yang bekerja di industri perikanan setempat bergantung kepada pasokan yang diantar dua kali dalam sepekan.

Pemagang kerja teknis itu mengatakan pascagempa mereka pergi ke pusat evakuasi, tetapi merasa tidak nyaman saat berada di sana. Mereka lalu memutuskan kembali ke asrama. Hambatan bahasa menyebabkan mereka tidak dapat memahami instruksi dan khawatir karena berperilaku berbeda dengan orang-orang Jepang.

Mereka dengan cepat kehabisan persediaan makanan dan air serta sulit menghadapi tantangan itu. Mereka menampung air dari salju dan atap untuk mencuci tangan serta mandi. Mazen mengatakan, "Saya mendapatkan mereka bertahan dengan memanfaatkan air hujan, kadang-kadang meminum air tersebut."

Para pemagang kerja teknis menampung air hujan menggunakan kotak polistirena.

"Saat saya datang ke sini pada 5 Januari dan akan menurunkan air minum dalam kemasan, salah satu dari mereka mendekati saya dan menanyakan apakah memiliki sesuatu untuk diminum. Ia sangat haus dan saya memberinya sedikit jus yang ada di dalam mobil. Saya tidak akan pernah melupakan keputusasaan yang terlihat di matanya," tutur Mazen.

Dengan banyaknya jalan yang terputus, toko-toko tutup, dan tidak ada transportasi publik, para pemagang kerja teknis itu terjebak. "Orang-orang ini hidup sendiri dan hanya memiliki sedikit hubungan dengan masyarakat setempat, bahkan di tempat kerjanya," ujar Mazen.

"Maka itu, jika terjadi sesuatu, mereka sendirian. Mereka berada di sini untuk waktu yang terbatas. Kemampuan mereka dalam berbahasa Jepang hanya sedikit. Banyak hal yang perlu diberikan kepada mereka, termasuk tisu toilet, dan mereka masih memerlukan bantuan darurat. Kami ingin membantu orang-orang seperti ini. Itu tugas kami," tambah Mazen.

Kari sayuran yang disediakan oleh Mazen dan timnya di tempat evakuasi.

Dukungan terbatas

Menurut Tamura, terdapat alasan terstruktur di balik kasus terisolasinya pada pemagang kerja teknis. Keberadaan mereka di Jepang biasanya tidak lebih dari lima tahun, yang berarti hanya memiliki sedikit hubungan dengan masyarakat setempat atau sedikit kesempatan untuk mempelajari bahasa Jepang yang memadai guna bersiap menghadapi bencana.

Dalam sejumlah kasus, badan pengawas serta perusahaan-perusahaan kecil tempat para pemagang kerja teknis itu bekerja juga mengalami kerusakan parah dan kehilangan kapasitasnya untuk memenuhi tugasnya.

Merupakan sebuah pilihan bahwa para warga asing mungkin merasa lebih nyaman berkumpul bersama di luar lokasi penampungan resmi dan saling menjaga satu sama lainnya. "Hal ini menjadikan sulit untuk mengetahui secara pasti keberadaan para warga asing," kata Tamura. Ia menghendaki para pejabat, sukarelawan, dan pekerja di tempat evakuasi untuk menjangkau mereka.

Lebih banyak informasi diperlukan

Tamura mengatakan seiring berjalannya waktu, kehidupan pascabencana dapat makin rumit. Ia mengatakan, "Sejumlah warga asing mungkin kehilangan pekerjaannya dan harus menempuh sejumlah prosedur. Mereka mungkin perlu mengajukan beberapa dokumen, termasuk sertifikat korban bencana."

"Banyak informasi tentang bantuan, lebih banyak penerjemah, dan layanan penerjemahan akan dibutuhkan mengingat skala bencana ini," kata Tamura.

Para warga asing membagikan kekhawatiran mereka kepada NHK WORLD-JAPAN tentang gempa dan pascagempa.

Kekhawatiran khusus para warga asing yang mengungsi adalah tentang visanya. Badan Imigrasi menyediakan layanan perpanjangan visa hingga 30 Juni untuk orang-orang di wilayah terdampak, meskipun masa visa mereka telah habis sebelumnya.

Para warga asing yang tidak dapat kembali bekerja dapat mengajukan perubahan sementara perusahaan atau pekerjaan, tetapi tidak lebih dari tiga bulan. Kebijakan ini juga diberlakukan untuk para pemagang kerja teknis yang biasanya dilarang pindah perusahaan atau pekerjaan.

Orang-orang yang tidak dapat menjangkau kantor imigrasi dapat memasukkan aplikasi melalui surat elektronik atau faksimile.
Selengkapnya lihat situs web Badan Imigrasi melalui tautan berikut:
https://www.moj.go.jp/isa/10_00182.html
(*Anda akan keluar dari situs web NHK WORLD-JAPAN)

Artikel berguna dan informasi dalam bahasa Inggris serta beberapa bahasa dapat ditemukan di situs berikut:

Informasi terkait gempa (NHK WORLD-JAPAN)
https://www3.nhk.or.jp/nhkworld/en/news/backstories/2949/

Berita multibahasa dan informasi BOSAI (NHK WORLD-JAPAN)
https://www3.nhk.or.jp/nhkworld/en/multilingual_links/

Sistem lembaran multibahasa CLAIR yang digunakan dalam situasi bencana dapat diakses melalui tautan berikut:
https://dis.clair.or.jp/
(*Anda akan keluar dari situs web NHK WORLD-JAPAN)

Tonton Video: Gempa Semenanjung Noto Sebabkan Penduduk Asing Merasa Terisolasi


*Jurnalis dan produser yang berkontribusi bagi programa yang menjadi dasar artikel ini berdasarkan urutan alfabet adalah: Goto Hiroki, Isogai Sawa, Rodrigue Maillard-Belmonte, Morita Yurina, Takaya Natsuko, dan Yoshikawa Ryuichi.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama