Membagi biaya
Staf tenaga kesehatan di sentral London, Joseph Spannari, 31, menuturkan kepada NHK mengenai kesulitan menemukan tempat tinggal yang sewanya terjangkau untuk hidup sendiri.

Saat mencari akomodasi untuk satu orang, sewa termurah yang bisa didapat Spannari dimulai dari sekitar £1.500 ($1.900). "Ukurannya mungkin sebesar kamar tidur saya," keluhnya. Kini, ia merasa tidak punya pilihan lain kecuali berbagi tempat tinggal dengan orang lain.
Sekarang, Spannari menyewa satu kamar di rumah yang ditinggali 4 orang. Rumah itu aslinya merupakan properti dengan dua kamar tidur, tetapi direnovasi dengan tambahan dua kamar tidur lagi. Sewanya £750 ($950) per bulan. Sewa seluruh rumah itu adalah £3.000 ($3.800) per bulan dan pemilik rumah telah mengisyaratkan akan adanya kenaikan sewa. Untuk mengantisipasinya, Spannari telah mengambil kerja tambahan di rumah sakit tempat ia bekerja.
Sebuah kamar tidur kosong di rumah itu baru-baru ini menarik lebih dari 200 peminat. Spannari menjelaskan bahwa banyak orang ingin tinggal di sentral London untuk mengejar karir dan berbagi tempat tinggal merupakan pilihan akomodasi yang populer.
Pengalaman Spannari mencerminkan sebagian akar penyebab krisis perumahan saat ini.
Permintaan tanpa adanya pasokan
Saat pandemi melanda, London mengalami eksodus karena orang-orang melakukan karantina di luar ibu kota tersebut. Setelah pandemi, seiring para pekerja, mahasiswa, dan pelajar asing kembali, permintaan sewa membubung.
Namun, dengan naiknya biaya hidup serta inflasi dan tingkat suku bunga yang meningkat, banyak pemilik rumah melepas properti rentalnya guna menangani biaya. Dampaknya terhadap pasokan adalah hingga Oktober 2023, jumlah properti yang disewakan di London menurun 35 persen dibandingkan sebelum pandemi dan jumlah peminat per properti meningkat tiga kali lipat menurut data dari Rightmove.
Dengan membubungnya sewa, begitu pula jumlah tunawisma.
Mengubah situasi ketunawismaan London
"Tekanan terbesar saat ini adalah kemampuan untuk mendapat tempat tinggal," jelas Elizabeth McCulloch, Manajer Kebijakan dan Riset St. Mungo, sebuah badan amal bagi tunawisma di Inggris. Ia menjelaskan bahwa orang-orang mencari bantuan hanya karena mereka tidak mampu membayar sewanya.
Demografi tunawisma berubah, kini mencakup sejumlah besar orang yang masih memiliki pekerjaan.
Ketunawismaan tidak selalu berarti tidur di tempat terbuka. Untuk sebagian orang, terutama keluarga, ini artinya tidur di akomodasi sementara yang disediakan dewan kota setempat. Pada 2023, data pemerintah Inggris menunjukkan jumlah tertinggi 104.510 rumah tangga hidup seperti ini. Lebih dari separuhnya memiliki anak-anak.
Dengan naiknya sewa, banyak orang tidak mampu mendapatkan ketahanan finansial yang memadai untuk memasuki kembali pasar penyewaan properti swasta. Efek tidak langsungnya adalah kepadatan di perumahan sementara yang disediakan dewan kota. Ini artinya makin banyak orang keluar dari sektor penyewaan swasta dan masuk ke tempat tinggal tidak layak serta pengangguran.
Tidak ada peluang kalau menganggur
Kiran O'Brian, yang berusia 50-an tahun, saat ini bekerja sebagai barista di Change Please, sebuah usaha sosial yang menyokong tunawisma dengan menjual kopi alih-alih meminta donasi. Ia telah merasakan pelajaran keras mengenai tantangan pasar.

"Kalau kita menganggur, orang bahkan tidak akan mengundang untuk menginspeksi propertinya," tuturnya. "Begitu saya sampaikan kalau saya tidak bekerja, saya tunawisma, itu sudah cukup membuat saya tidak mendapatkannya."
O'Brian ingat ketika ia masuk kembali ke sektor rental swasta. Ia mengatakan hanya 5 dari 100 properti rental yang mau menerima inspeksi dari orang dengan situasi seperti dirinya. Tanpa bantuan dari Change Please, yang membayar O`Brian upah standar hidup London (£5320, atau $6,760, lebih tinggi dari upah minimum nasional) tiap tahun, ia yakin ia masih akan menjadi tunawisma.
Mengisi kesenjangan
Banyak orang seperti O’Brian mengandalkan badan amal serta kelompok lainnya untuk mendapatkan dukungan ketenagakerjaan serta perumahan. Menurut Direktur Utama Change Please Cemal Ezel, 44 persen tunawisma ingin bekerja dan mampu bekerja.

"Jadi, bagi tiap orang yang kami bantu, kami menyediakan program pelatihan, pekerjaan dengan bayaran standar biaya hidup, serta rekening bank," katanya. Skema ini begitu sukses hingga 76 persen orang tunawisma yang bekerja dengan Ezel mendapatkan pekerjaan permanen.
Kepadatan terhadap perumahan sementara juga dilonggarkan dengan bantuan satu perusahaan swasta, The Hill Group. Perusahaan itu punya solusi baru yaitu bekerja sama dengan dewan-dewan kota setempat di Inggris untuk menemukan lahan yang kurang dimanfaatkan serta membangun unit perumahan unik yang disebut SoloHaus.

SoloHaus merupakan rumah standar mandiri untuk satu orang yang secara khusus dirancang bagi mereka yang telah mengalami ketunawismaan. Tagihan listriknya hanya £5 ($6). Semua penyewa mulai mendiami unitnya mengikuti rencana yang diciptakan dengan bantuan badan amal setempat serta dengan target akhir memasuki kembali pasar rental swasta. Biaya operasional yang rendah dirancang untuk menyediakan bantuan finansial serta membantu penyewa untuk menabung.
Sejauh ini, The Hill Group telah menyediakan lebih dari 200 SoloHaus ke dewan-dewan kota di Inggris untuk membantu orang-orang mendapatkan tempat tinggal.
Jalan ke depan
Pada 2024, pemerintah Inggris menyediakan tunjangan perumahan yang lebih tinggi bagi penyewa berpendapatan rendah guna membantu mereka tetap berada dalam pasar rental swasta. Upaya untuk mengenyahkan beban biaya rental muncul berbarengan upaya badan amal dan kelompok bantuan yang menyediakan akomodasi sementara serta peluang mendapatkan pekerjaan lagi bagi mereka yang jadi tunawisma akibat krisis sewa.
Sementara itu, lembaga bantuan Shelter memperkirakan bahwa 309.000 orang di Inggris saja akan telah mengalami ketunawismaan selama periode Natal 2023.